Kamis, 12 Januari 2012

HAK ASASI MANUSIA DAN PELANGGARANNYA



Bab I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
       Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”.

2.    Identifikasi Masalah
1.      Hubungan HAM dan Ilmu Hukum
2.      Pelanggaran HAM

3. Tujuan
       Makalah ini dibuat bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca, bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang harus kita hormati dan tidak boleh kita merenggut hak asasi tersebut. Tujuan lain pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi persyaratan tugas Mata Kuliah PPKN.
Bab II
PEMBAHASAN


1.HUBUNGAN HAM DAN ILMU HUKUM       
       Keberadaan HAM mendahului hukum, artinya, Hak Asasi Manusia yang melekat pada setiap manusia, lewat seperangkat aturan hukum yang ada, memformalkan hak asasi manusia ke dalam seperangkat aturan hukum yang ada. Dari posisi tersebut, hukum menjadi konditio sine qua non dalam penegakan HAM. Lengkapnya instrumen hukum tentang HAM menjadi salah satu sumber hakham, menunggu keberanian/langkah politik pemimpin dunia dan pemimpin negara untuk menegakkannya.
       Memperhatikan perkembangan tersebut, berarti hukum Hak Asasi Manusia sudah menjadi satu disiplin yang bulat, terbuka yang perlu pengkajian terus menerus. Hakham, baca: hak-ham/ human right law merupakan akronim yang penulis usulkan untuk menyebut “hukum hak asasi manusia”. Sebagai satu disiplin hukum modern, maka hakham akan mengikuti sistem hukum yang modern pula.
       Hukum ( rechts, bahasa jerman kuno, menurut prajudi berarti “lurus” )disebut juga aturan, norma, kaidah sebagai kata benda mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, berisi ide, cita-cita/etika. Harapan, ide tersebut banyak dibahas di dalam filsafat hukum dan teori hukum. Kedua, hukum sebagai alat untuk mencapai cita hukum. Ketika hukum “bertindak” dalam bentuk alat/instrumen saja dan dalam operasionalisasinya “lepas” atau melepaskan diri dengan cita hukum, berarti teori hukum yang digunakan sebagai dasar keputusan mengedepankan kekuasaan. Watak hukumnya menjadi represif yang memihak kepada penguasa status quo.
      Kalau pada dekade 50-an/60-an, HAM merupakan bagian dari materi hukum tata negara. Dewasa ini, HAM dengan seluruh subtansinya, sarana/prasarana dan organisasi/struktur yang sudah ada menjadi mandiri dan menjadi bagian dari disiplin ilmu hukum. Sebagai disiplin yang baru dan mandiri, sosialisasi hakham memerlukan kerja sama antara semua kekuatan politik, pejabat, aparat, dan seluruh anggota masyarakat , sehingga HAM menjadi bagian dari budaya bangsa dan orang per orang.
       Karena itu, pada tataran aplikasi, kerja sama dan kesungguhan antar pejabat dan antar pakar dari seluruh disiplin menjadi penting. Namun, langkah tersebut kurang, malah tidak dapat efektif tanpa political will/courageous will dari penguasa/pemerintah.
       Peran penguasa/pemerintah menjadi mutlak karena hukum adalah sesuatu/norma yang diam dan lemah. Hukum hanya dapat bergerak dan hanya dapat digerakkan oleh penguasa/orang yang mempunyai tangan kuat/the strong arms. Di tangan-tangan kuat sajalah hukum dapat berjalan dan efektif.
       Dalam bentuk kejelasan/ketegasan pemerintah di dalam menegakkan HAM, menyebarluaskan ke dalam dunia pendidikan menjadi pedoman aparat/pejabat, para profesional dan juga diketahui anggota masyarakat luas/grass root, antara lain kalangan buruh dan tani menjadi mutlak.
       Karena itulah, penegakan hakham selalu berhadapan dengan beragam kondisi yang ada. Terkait dengan perkembangan pemikiran manusia, kemajuan teknologi serta perubahan peta politik internasional, hakham akan berkembang terus, tidak saja berkembang terus subtansinya/ruang lingkupnya, tetapi juga dalam arti materi serta formal/acaranya. Makanya menjadi selalu aktual untuk dikaji, sehingga pelaksanaan hakham dalam makna kontekstual, harus di tangani dengan penuh kesadaraan dan kearifan.
       Hakham sebagai hukum dalam arti modern bersifat dinamis. Konsep, ide, citanya yang dikembangkan para pemikir semakin berkembang/majemuk dan menjadi alat yang tepat untuk menegakkan HAM. Hukum modern merupakan fenomena sosial-kultural universal duniawi, dan aspek-aspeknya begitu banyak serta berkait hampir semua segi kehidupan manusia dan masyarakat atau bangsa” ( Prajudi Atmosudirjo, 4:2002).
       Salah satu aspek hukum yang penting-kata Prajudi-adalah bisnis dalam arti luas. Artinya setiap warga dalam masyarakat modern harus mempunyai penghasilan, alias mandiri. Kemandirian memungkinkan bangsa hingga pribadi mempunyai nilai tawar seimbang, malah tinggi. Hakikatnya pemerintah juga bisnis, berarti negara/pemerintah harus mempunyai pendapatan cukup, sehingga pemerintah mampu mencukupi kepentingan/kebutuhan warga masyarakat.
       Dari sisi ini, sebagaimana diketahui bersama, dunia bisnis sudah mengglobal, yang berarti landasan cita-cita bisnis global dalam rangka memenuhi kepentingan dan kebahagiaan umat manusia tanpa ada perbedaan segera terwujud. Dalam konteks hukum bisnis internasional, ide menyejahterakan manusia sama dengan cita-cita hukum pada umumnya dan hakham pada khususnya.
       Pendekatan ekonomi merupakan salah satu sektor penting, di samping sipil, politik, budaya, dan seterusnya, dalam semua strata masyarakat, termasuk hak anak dan perempuan. Karenanya, kata Shirin Ebadi, penerima hadiah Nobel perdamaian tahun 2003 asal Iran: “. . . berjuang bagi hak asasi masyarakat yang mandasar dan tidak ada masyarakat yang pantas diberi predikat beradab, kecuali menghormati hak-hak perempuan dan anak-anak” (Kompas, 15 Oktober 2003).
       Masyarakat modern (modern, pertama berasal dari kata methode/cara berpikir, orang modern berpkir rasional, sadar masa depanya, disiplin dan menghargai waktu; kedua, berasal dari kata mode/penampilan). Dengan demikian, masyarakat modern  adalah masyarakat yang sudah “jadi”, dimana telah tercipta diferensiasi dan masing-masing warga masyarakat tahu posisi, tugas, kewajiban, dan hak-haknya, dalam diferensiasi dan tidak ada diskriminasi. Karenanya menempatkan perempuan minoritas pada pada posisi kedua akan sangat bertentangan dengan HAM. Walau harus diakui masyarakat modern menciptakan juga beragam masalah.
       Disana banyak persaingan, konflik, pertentangan serta beragam masalah-masalah sosial lain yang susul-menyusul berdatangan. Ada sebagian anggota masyarakat yang “kalah” akibat kultur maupun struktur yang ada. Disinilah kearifan dan keteladanan selalu diperlukan dalam setiap waktu dan tempat/masyarakat.
       Begitu bervariasinya “wajah” masyarakat modern, ditambah perbedaan sudut pandang filsafat dan teori hukum yang dianut, menuntut hukum harus bekerja ekstra keras, sampai-sampai sulit menemukan definisi hukum yang dapat diterima para ahli. Masing-masing pemikir mempunyai sudut pandang yang berbeda. Hal ini membawa kita masuk pada ajaran dogmatik hukum (rechtsleer). Pilihan/pendalaman dogmatik hukum ( membangun hukum positif secara benar ) diharapkan akan bertumpu kepada filsafat hukum dan teori hukum yang sesuai dengan politik hukum yang ditetapkan sebelumnya akan dapat terwujud.
       Membahas dan mengaitkan teori dan filsafat hukum dengan hukum positif bertujuan menjaga agar hukum didalam pelaksanaannya tetap memihak kepada keadilan, manfaat dan kepentingan umum dapat terwujud. Dalam praktik sering terjadi, akibat pengaruh status seseorang, kondisi ekonomi maupun faktor-faktor lainnya, sebagai tergambar didalam sosiologi hukum, keputusan hukum menjadi tidak adil dan benar. Karena itu, banyak para pemikir berpendapat antara teori hukum dan sosiologi hukum sulit bertemu.
       Keberadaan hukum modern hakikatnya telah melewati proses panjang tatanan/ hukum sebelumnya. Tatanan lama dengan segala aturan otentik yang sejak awal melekat pada masyarakat mempunyai kelebihan di samping kelemahan dalam dirinya kurang adanya koordinasi, mekanisme tata kerja yang jelas, dan seterusnya, kelebihannya-kata Satjipto Raharjo-pada keluwesan, kelenturan, lebih akomodatif dan rekonsiliatif, serta jauh dari kesan “kuat dan keras”(strong and violent).
       Sebaliknya, hukum modern identik dengan hukum negara menyiapkan tatanan baru yang jauh lebih canggih dan terukur dari pada tatanan dari komunitas otentik yang digantikan. Ia membangun struktur yang jelas dan tegas batas dari komunitas otentik yang digantikan. Ia membangun struktur yang jelas dan tegas batas serta fungsinya. Ada badan legislatif, pengadilan, polisi, penjara, dan birokrasi penegakan hukum. Semua serba terukur, maka selain hukum bisa dijalankan dengan terukur, juga lebih keras (violent). Lex dura sed tamen scripta (hukum itu keras, tetapi begitulah sifat hukum yang tertulis itu).
       Yang disebut hukum modern adalah mulai dengan dibuatnya peraturan oleh legislatif, disusul pembentukan polisi, pengadilan, jaksa, hakim, penjara, dan tiang gantungan. Itulah potret kerasnya hukum dan kekerasan yang dilahirkan oleh hukum modern (Satjipto Rahardjo, kompas 20 November 2003).
       Dengan demikian, merumuskan hukum didalam satu definisi yang mampu mencakup berbagai aspek dan sudut yang komprehensif menjadi sulit dan menjadi beragam. Definisi yang dikemukakan para sarjana yang ditemukan didalam banyak buku pengantar/dasar ilmu hukum membuktikan hal ini. Karenanya definisi-definisi yang ada menjadi definisi kerja/operasional.
       Memperhatikan silang pandangan yang ada, pasti dapat ditemukan benang merah yang disepakati, bagaimana hukum dengan sistem, beserta struktur/instrumen dan mekanisme yang ada mampu mengahantarkan anggota masyarakat tanpa ada diskriminasi menebar keadilan, persamaan, kepastian, ketenangan, perlindungan, ketentraman, kesejahteraan, dan juga manfaat.
       Untuk maksud tersebut, perumusannya dalam hukum positif menjadi tugas lembaga  legislatif, dijalankan oleh eksekutif dan ditafsirkan oleh lembaga yudisial, sehingga anggota masyarakat meras terlindungi. Perkembangan/kemajuan berpikir manusia akan berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan hukum itu sendiri. Dengan demikian, dimensi dan sasaran hukum akan tetap terbuka, sehingga pembangunan hukum berkembang terus. Ilmu hukum mempunyai  hakikat interdisipliner (Satjipto Rahardjo,1982:7), sehingga efektivitas dan dan berlakunya hukum tidak dapat dilepaskan dari disiplin ilmu lainnya, baik politik, ekonomi, pendidikan, keamanan, dan sebagainya.
       Sebagaimana disinggung didepan, ide, asas, pandangan, cita-cita itulah yang hendak di aplikasikan didalam masyarakat. Pandanga/ide  tersebut dibangun dan dikembangkan dalam filsafat hukum. Pandangan dan ide tersebut dirasionalkan lewat teori hukum/ilmu hukum. Karena itu, hubungan antara filsafat hukum, teori hukum dan hukum positif beserta berlakunya hukum dalam kehidupan bermasyarakat tidak dapat dipisahkan, sehingga hukum bukan sekedar alat yang steril.
       “Kalau kaidah atau norma dapat digambarkan sebagai aturan tingkah laku: sesuatu yang seharusnnya dilakukan oleh manusia dalam keadaan tertentu. Ada pula yang menyebutkan bahwa kaidah sebagai petunjuk hidup yang mengikat” (Achamd Ali 2002: 38). Sedangkan teori hukum, menurut Rudbruch bertugas melakukan “the classification of legal values and postulates up to their philosophical foundantion” (1982:8).
       Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat surgawi dan manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan yang tidak benar (Ulpian, 1982:8)”. Disini ada hubungan antara benar-salah, juga dapat dikembangkan antara adil, tidak adil, pasti, relatif, dan seterusnya. Karena itu, menurut penulis, ilmu hukum berisi gagasan, keinginan, petunjuk dan pedoman bersama sekaligus sebagai alat dalam menata kehidupan bernegara/bermasyarakat yang mampu menjamin terwujudnya keadilan sosial (social justice) dengan sistem, mekanisme dengan operasional yang jelas, lewat proses terbuka, sistematis, demokratis, serta dituangkan dalam hukum positif.
       Keadilan bagian utama dari cita hukum, bahkan merupakan hak asasi hukum, hukum tanpa cita hukum menjadi alat yang berbahaya. Keadilan merupakan masalah abadi yang direnungkan para pemikir sejak zaman Yunani. Bicara keadilan tidak dapat meninggalkan Ariestoteles. Dalam karya Retorika, Ariestoteles membedakan keadilan distributif dan masyarakat membagi dan menebar keadilan kepada orang-orang, sesuai dengan kedudukannya. Sedangkan keadilan komutatif/korelatif, keadilan tidak membedakan posisi atau kedudukan orang per orang untuk mendapat perlakuan hukum sama.
       Hak mengandung unsur perlindungan, kepentingan dan juga kehendak, demikian kata paton (Satjipto Rahardjo, 1982: 95). Dalam hukum, antara lain hak selalu dikaitkan dengan orang dan tertuju kepada orang. Dengan demikian, sebagai mana diketahui, orang dan badan hukum merupakan subjek hukum. Sebagai subjek hukum, orang dan badan hukum memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab, yang terakhir merupakan penekanan penulis, karena hukum memerlukan adanya rasa tanggung jawab.
         Hak itu sendiri selalu ada kolerasi dengan kewajiban sebagai refleksi keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Keseimbangan antara hak dan kewajiban dan tanggung jawab itulah yang mampu mewujudkan keseimbangan. “Perpaduan” antara keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) terwujud. Keadilan masyarakat digali lewat berbagai perbandingan hukum dan keputusan hukum (keputusan pengadilan, justru pengadilan merupakan interpreter formal dari setiap peraturan perundangan) yang ada dan terjadi dalam masyarakat. Dari perbandingan tersebut akan ditemukan hakikat dan nilai-nilai keadilan secara materiil, sedangkan keadilan moral digali kembali dari teori hukum yang ada atau mengembangkan pengertian –pengertian hukum itu sendiri (antara lain makna sumber hukum, tujuan, dan fungsi hukum, dan sebagainya).
       Karena itu, hak asasi manusia dan upaya penegakannya lewat dan bersama hukum tidak dapat dipisahkan. Berpikir dalam lingkup hukum, berpikir seputar adil dan tidak adil, bagaimana ide keadilan/ketertiban dan kebenaran dapat terwujud. Untuk mempercepat tujuan tersebut , hakham menjadi salah satu instrumen/alatnya. Dengan demikian, pembentukan negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asai manusia atau tujuan hukum, kata L/J.Van Apeldoorn mengatur pergaulan hidup secara damai.
       Perjuangan penegakan hak asasi manusia di daratan Eropa, puncaknya lewat Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan Penduduk Negara (Declaration des Drotis l’Hommes et du Citoyen) 1789 di Perancis. Dalam deklarasi tersebut ditegaskan sebagai berikut.
Pasal 1
Semua manusia itu lahir dan tetap bebas dan sama dalam hukum. Perbedaan sosial    hanya didasarkan pada kegunaan umum.
Pasal 2
Tujuan negara melindungi hak-hak alami dan tidak dapat dicabut atau dirampas. Hak-hak alami meliputi hak kebebasan, hak milik, hak keamanan dan hak perlindungan (bebas penindasan)
       Ketika itu, raja John Lockland (John tanpa negara) dengan para bangsawannya dopaksa untuk mengakui hak-hak rakyat, walaupun lebih bermakna kompromi politik/kompromi pembagian kekuasaan. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1215 dalam Piagam Besar (Magna Charta), John Lockland telah mengakui hak-hak secara turun-temurun:
-          Hak kemerdekaan (kebebasan) tidak boleh dirampas tanpa keputusan pengadilan,
-          Pemungutan pajak harus dengan persetujuan dewan permusyawaratan.
       Dalam perjalanan sejarah inggris, pengakuan Magna Charta masih sering dilanggar sehingga pada tahun 1679, parlemen Inggris mengeluarkan peraturan  Habeas Corpus Act (peraturan tentang Hak diperiksa di muka hakim). Dalam Habeas Corpus Act tersebut dijelaskan, setiap orang hanya boleh ditahan atas dasar perintah hakim dengan mengemukakan dasar hukum penahanan tersebut. Orang yang ditahan harus segera didengar keterangannya.
       Sebagaimana diketahui, salah satu indikasi untuk disebut sebagai negara hukum, antara lain ditegakkannya hak asasi manusia, agar penegakkanya cepat tercapai. Menurut Hans kelsen, sebagaimana dikutip oleh Moh. Hatta: “negara hukum (Allgemeine Staatslehre) akan lahir, apabila sudah dekat sekali identieit der staatsornung mit der rechtsordnung, semakin dekat kita dalam pelaksanaan negara hukum yang sempurna.
       Untuk menghayati HAM sekaligus membangun hakham, paradigma yang harus dihayati adalah sebagai berikut.
1.      Kesadaran makna Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar yang suci dan melekat pada setiap manusia adalah pemberian Tuhan selamanya, ketika menggunakan haknya tidak boleh merugikan anggota masyarakat lainnya.
2.      Dalam memenuhi Hak Asasi Manusia, lebih dahulu mengedepankan kepuasan/kebutuhan batin (spiritual need) dan kebutuhan lahir (biological need) setiap warga masyarakat.
3.      Domain Hak Asasi Manusia berkembang terus seirama/sesuai dengan kebutuhan/ tuntutan nurani, perkembangan pemikiran,budaya, dan cita-cita manusia.
4.      Manusia tanpa Hak Asasi Manusia berubah menjadi “robot” hidup, kehilangan martabat dan sifat kemanusiannya.
5.      Kesadaran bahwa Hak Asasi Manusia tersebut adalah kunci, menuntut setiap manusia pada tataran aplikasi dibarengi dengan kesadaran akan kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi, sehingga tiga elemen berjalan beriringan. Pencabutan HAM hanya diizinkan atas perintah hukum/undang-undang yang jelas/tegas.
6.      Negara/Pemerintah dengan seluruh pejabat/aparat yang ada menjadi pihak utama dan pertama pelindung hak asasi manusia. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas kesediaannya mengemban tugas sebagai pejabat/aparat dengan seluruh fasilitas yang tersedia, sehingga salah satu tugas utamanya melindungi/menghormati hak asasi manusia dan mencegah pelanggaran HAM.
       Deklarasi Hak Asasi Manusia yang disepakati 10 Desember 1948 sudah berusia 56 tahun, lewat perjuangan panjang terbukti sampai sekarang masih banyak cita-cita yang belum dapat diselesaikan/disepakati. Dari perjalanan panjang tersebut, Karel Vasak pada tahun enam puluhan pernah mengusulkan, selain disusun satu Deklarasi Hak Asasi Manusia, perlu disusun pula beberapa kovenan,traktat, konvensi, dan lain-lain, sudah banyak disusun, baik pada tingkat intenasional, regional, dan lain-lain, maupun konvensi yang disusun oleh lembaga internasional, walau sebagian belum efektif.
       Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 dengan Deklarasi Lingkungan Hidup 1972 terdapat beberapa titik singgung, antara lain sebagai berikut.
1.      Alinea V Preambule Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948, antara lain menjelaskan adanya hak asasi manusia semata-mata demi kemajuan sosial, terciptanya standar hidup yang lebih baik; sedangkan dalam pernyataan I Deklarasi Lingkungan Hidup, antara lain dikatakan, lingkungan merupakan sarana mutlak untuk menikmati hak asasi dan kehidupannya sendiri. Karena itu, rusaknya lingkungan akan menjauhkan standar hidup yang lebih baik.
2.      Hak menikmati miliknya, sebagaimana tertuang didalam Pasal 17 Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948, terkait pula dengan Pasal 21 Deklarasi Lingkungan Hidup 1972 yang menekankan keselamatan lingkungan hidup. Dengan demikian, baik negara maupun individu yang memanfaatkan lingungannya, harus memperhatikan keselamatan lingkungan dalam arti makro.
3.      Pengembangan hak-hak ekonomi, sosial, dan kultural merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pengembangan tersebut harus terlaksana dalam satu lingkungan yang baik, sehat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 Deklarasi Lingkungan Hidup 1972.
4.      Jaminan hidup yang layak dan seimbang sesuai dengan tuntutan atau hak manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 Deklarasi Lingkungan Hidup 1972 menegaskan bahwa kesehatan manusia hanya terjamin dalam satu lingkungan yang bebas polusi, bebas zat-zat lain yang mengganggu manusia (A. Mashyur Effendi, 1986: 57-58)   


2.PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

       Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.


       Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.[1]

       II. Fakta (Realita yang Ada Tentang HAM di Indonesia)
Jika melihat hakikat HAM yang sebenarnya, tentu akan sangatlah indah dibayangkan apabila HAM yang terjadi di Indonesia benar-benar seperti itu. Akan tetapi realitas yang ada tidak seperti itu, bahkan bertolak belakang. HAM yang katanya sangat dilindungi dan dihormati di injak-injak begitu saja oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Pelanggaran HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan rakyat Indonesia.
Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dr. Meutia Hatta Swasono, seperti yang dikutip dari http// : www.kapan lagi. com, mengatakan bahwa kekerasa terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk yang bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks. “Yang merasakan kekerasan itu bukan hanya isteri atau perempuan yang terluka, tetapi juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan kekerasan dilingkungannya”. Ia juga menambahkan, anak dimungkinkan meniru terhadap apa yang mereka lihat, sehingga menganggapnya bahkan menyesuaikan perbedaan. Karena itu, kekerasan terhadap perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.
Selain pelenggaran HAM yang berupa kekerasan terhadap perempuan ada juga pelanggaran HAM yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik di Indonesia dan beberapa sebab yang lain yang sebenarnya sudah sangat melampui batas.
Berikut ini akan ditampilkan beberapa contoh pelanggaran HAM di Indonesia selama Orde Baru sepanjang tahun 1990-1998, seperti yang dikutip dari http//:www.sekitarkita.com, adalah sebagai berikut :
1991 :
1. Pembantaian dipemakaman santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda. Pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya 200 orang meninggal
1992 :
1. Keluar Kepres tentang Monopoli perdagangan oleh perusahaan Tommy Suharto
2. Penangkapan Xanana Gusmao

1993 :
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.
1996 :
1. Kerusuhan anti Kristen di Tasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan kerusuhan Tasikmalaya. (26     Desember 1996)
2. Kasus tanah Balongan
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Mucura Enim mengenai pencemaran lingkungan
4. Sengketa tanah Manis Mata
5. Kasus Waduk Nipoh di Madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat. Ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka
6. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja di bakar
7. Kerusuhan Sambas Sangvaledo. (30 Desember 1996)

1997 :
1. Kasus tanah Kemayoran
2. Kasus pembantaian mereka yang di duga pelaku dukun santet di Ja-Tim

1998 :
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus. Aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan di perkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13-15 Mei 1998
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di Jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demontrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13-14 November 1998 dan dikenal dengan Tragedi Semanggi,
2011
1.Kasus pembantaian warga  oleh pamswakarsa dari sebuah perusahaan yang ada di Mesuji,Lampung
2. Pembubaran aksi unjuk rasa oleh Polisi yang menewaskan beberapa orang  di pelabuhan sape, Bima, Nusa Tenggara Timur.

Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, masih banyak contoh-contoh lain yang tidak dapat semuanya ditulis disini.
       Dari fakta dan paparan contoh-contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui hahwa HAM di Indonesia masih sangat memperihatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam suatu teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang secara terang-terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang legal.
Sangat minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Telah terjadi krisis moral di Indonesia
2. Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang
3. Kurang adanya penegakan hukum yang benar.
Dan masih banyak sebab-sebab yang lain.

Bab III
PENUTUP
      

1.    Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam Islam, Islam sudah lebih dulu memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang Islam dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam itu yaitu Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.


2.    Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang lain.



Daftar Pustaka

Prof. A. Masyhur Effendi, S.H., M.S. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia & Proses Dinamika Penyusunan Hak Asasi Manusia (HAKHAM), GHALIA INDONESIA: 2005
Google.com, 8 Januari 2012

Selasa, 27 Desember 2011

makalah negara demokrasi


  Makalah Negara Demokrasi Modern

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dalam pembicaraan ini nanti akan dicoba menerangkan pertumbuhan serta perkembangan demkrasi, yaitu mulai dari Demokrasi langsung, demokrasi kuno, yang mulai timbul dan berkembang sejak pada zaman Yunani Kuno, sampai pada perkembangannya mencapai demokrasi tidak langsung, demokrasi perwakilan, atau demokrasi modern. Ini terjadi sekitar abad ke XVII dan abad ke XVIII, maka dalam hal ini nanti akan erat hubungannya dengan ajaran-ajaran para sarjana hukum alam. Terutama ajaran Montesquieu, yakni ajaran tentang pemisahan kekuasaan, yang kemudian terkenal dengan nama Trias Politika, karena ajaran inilah yang justru akan menentukan tipe daripada demokrasi modern, dan ajaran Rousseau, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, yang justru tidak dapat dipisahkan dengan demokrasi.
Sekarang kita akan membicarakan tentangtipe atau jenis-jenis demokrasi modern. Dan menurut pendapat yang umum penjenisan terhadap negara-negara demokrasi ini berdasarkan atas sifat hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Dalam hal ini Kranenburg bermaksud meninjau bagaimanakah sifat kekuasaan penguasa itu. Sedangkan penjenisan yang akan dibicarakan di sini dimaksudkan untuk meninjau negara dari segi sistem pemerintahannya.
Hal tersebut di atas sebetulnya adalah mengenai masalah, bagaimanakah caranya untuk mengusahakan suatu tatanan, atau tata tertib dari organisasi itu, yaitu organisasi yang disebut negara, agar dapat tercegah adanya suatu pemerintahan yang kekuasaannya bersifat absolut. Untuk ini sistem pemerintahan yang manakah. Dan yang bagaimanakah yang harus diselenggarakan.

B. Rumusan Masalah
 1. Pengertian Demokrasi
2. Tipe-tipe demokrasi modern

C. Tujuan
 Setelah selasai membaca makalah ini, di harapkan pembaca terutama mahasiswa FKIP UNLAM mampu mengidentifikasi permasalahan tentang apa itu demokrasi modern dan tipe-tipe demokrasi modern.

D. Manfaat
Dari penulisan makalah ini kami harapkan bisa membantu kita semua dalam ilmu negara dan bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi mahasiswa dalam memahami permasalahan negara demokrasi modern.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat, dan cratein yang berarti memerintah. Bila di gabungkan maka berarti “rakyat yang memerintah” atau “pemerintahan rakayat”. Kata ini menjadi popular setelah di ucapkan negarawan sekaligus mantan presiden Amerika Serikat, Abrahan Lincoln yang mengatakan, “govermment is from the people, by the people, and for the people”, sehingga dapat di artikan bahwa demokrasi adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dari sini dapat di tarik bahwa tekanan jenis pemerintahan ada pada kekuasaan pemerintahan dalam tiap-tiap negara. Bila kekuasaan pemerintahan negara itu berada di tangan rakyat, maka negara itu di sebut negara demokrasi di mana rakyat memegang kekuasaan atau kedaulatan.
Menurut Internasional Commision Of Jurist demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam pemerintahan demokrasi adalah rakyat.

2. tipe-tipe demokrasi modern

a. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representative, dengan system pemisahan kekuasaan secara tegas, atau system presidensiil. Sebagai contoh daripada system ini misalnya Amerika serikat.
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa yang menjadi cirri, atau criteria daripada penggolongan atau klasifkasi tipe-tipe demokrasi modern ini adalah sifat hubungan antara badan-badan, atau organ-organ yang memegang kekuasaan daripada Negara tersebut, terutama bagaimanakah sifat hubungan antara badan legislative, yaitu badan yang memegang kekuasaan perundang-undangan, ini biasanya adalah badan perwakilan rakyat, ingat system trias politica, dengan badan eksekutif, yaitu badan yang memegang kekuasaan pemerintahan, atau badan yang melaksanakan peraturan-peraturan Negara, atau disebut juga pemerintah.
Di dalam system ini sifat hubungan antara kedua badan tersebut dapat dikatakan tidak ada, jadi secara prinsipil bebas. Di sini orang menduga bahwa stelsel atau system inilah yang dikehendaki oleh Montesquieu.
Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislative disini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu basdan atau organ yang didalam menjalankan tugas eksekutifnya itu tidak bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat. Badan perwakilan rakyat ini menurut idea Trias Politica Montesquieu memegang kekuasaan legislative, jadi bertugas membuat dan menentukan peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian sebagai juga halnya dengan anggota-anggota badan perwakilan rakyat, pimpinan daripada badan eksekutif ini diserahkan kepada seseorang yang didalam hal pertanggungan jawabnya sifatnya sama dengan badan perwakilan rakyat, yaitu bertanggung jawab langsung kepada rakyat, jadi tidak usah melalui badan perwakilan rakyat. Jadi dengan demikian kedudukan badan eksekutif adalah bebas dari badan perwakilan rakyat.
Susunan daripada badan eksekutif terdiri daripada seorang presiden, sebagai kepala pemerintahan, dan didampingi atau dibantu oleh seorang wakil presiden. Para menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Jadi para menteri itu tidak mempunyai hubungan keluar, dimaksudkan hubungan pertanggungan jawab dengan badan perwakilan rakyat. Yang bertanggung jawab pelaksanaan tugas yang diberikan kepada mereka oleh kepla Negara, adalah kepala Negara sendiri. Sedangkan kepala Negara ini pun tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, atas kebiksanaan penyelesaian daripada tugas-tugasnya. Maka mengingat akan kedudukan para menteri ini, yang hanya merupakan pembantu daripada presiden, dan di mana presiden itu nyata-nyata merupakan pimpinan daripada badan eksekutif, stelsel atau system yang demikian ini disebut stelsel atau system presidensiil.

b. demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representative, dengan system pemisahan kekuasaan, tetapi di antara badan-badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislative dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling mempengaruhi, atau system parlementer.
Didalam system ini ada hubungan yang erat antara badan eksekutif denagn badan legislative, atau parlemen, badan perwakilan rakyat. Tugas atau kekuasaan eksekutif di sini diserahkan kepada suatu badan yang disebut cabinet atau dewan menteri. Cabinet ini mempertanggungjawabkan kebijaksanaanya, terutama dalam lapangan pemerintahan kepada badan perwakilan rakyat, yang menurut ajaran trias politika Montesquieu diserahibtugas memegang kekuasaan perundang-undangan, atau kekuasaan legislative.
Oleh karena itu cabinet bertanggungjawab kepda badan perwakilan rakyat, maka sudh barang tentu pertanggungan jawab itu kebanyakan akan diterima baik oleh badan perwakilan rakyat, jika kebijaksanaan pada umumnya dari cabinet itu sesuai dengan yang dikehendaki oleh mayiritas di dalam badan perwakilan rakyat. Dan kebijaksanaan yang demikian itu pada umumnya dapat diharapkan akan mendapatkan penerimaan baik oleh mayoritas dalam badan perwakilan rakyat.
Jadi andaikata dalam badan perwakilan rakyat itu yang merupakan mayorita adalah orang-orang: A, B, C, maka tentu harus disusun suatu cabinet yang orang-orangnya dipilih dari ; A, B,C, sehingga kebijakan cabinet itu kalau dipertanggung-jawabkan di muka badan perwakilan rakyat akan dapat diterima dengan baik.
Untuk mencegah jangan sampai terjadi bahwa cabinet yang mengambil suatu keputusan(kebijaksanaan) dan kemudian tidak dapat diterima oleh badan perwakilan rakyat yang tidak representative, maka sebagai perimbangan daripada pertanggungan-jawab cabinet itu, yaitu yang berarti bahwa kalau kebijaksanaan cabinet tidak dapat diterima oleh badan perwakilan rakyat, cabinet, atau menteri yang bersangkutan harus mengundurkan diri, cabinet, dengan melalui kepala Negara, mempunyai kekuasaan untuk membubarkan badan perwakilan rakyat yang dianggap sudah tidak lagi bersifat representative.
Di sinilah letak intisari pengertian daripada stelsel parlementer, yaitu cabinet bertanggung-jawab kepada parlemen atau badan perwakilan rakyat, artinya kalau pertanggungan-jawab cabinet itu tidak dapat diterima baik oleh badan perwakilan rakyat, pertanggungan-jawab tadi adalah pertanggungan-jawab politis, maka badan perwakilan rakyat dapat menyatakan tidak percaya (mosi tidak percaya) terhadap kebijaksanaan cabinet dan sebagai akibat daripada pertanggungan-jawab plitis tadi, cabinet harus mengundurkan diri. Tetapi kalau ada keragu-raguan dari pihak cabinet, dan menganggap bahwa badan perwakilan rakyat itu tidak lagi bersifat representative, maka sebagai imbangan daripada kekuasaan badan perwakilan rakyat untuk membubarkn cabinet tadi, cabinet mempunyai kekuasaan untuk membubarkan badan perwakilan rakyat.
Kalau kita perhatikan stelsel parlementer ini lebih jauh lagi kita akan mendapatkan di dalam inti stelsel parlementer ini dua segi, yaitu :
1. segi positif, yaitu yang berarti bahwa para menteri harus diangkat oleh, atau sesuai dengan mayorita dalam badan perwakilan rakyat.
2. segi negative, yaitu yang berarti bahwa para menteri harus mengundurkan diri bila kebijaksanaannya tidak dapat disetujui atau didukung oleh mayorita badan perwakilan rakyat.
Didalam system parlementer ini, kepala Negara tidak merupakan pimpinan yang nyata daripada pemerintahan, atau cabinet. Jadi yang memikul segala pertanggungan-jawab adalah cabinet, termasuk juga di sini pertanggungan-jawab atas kebijaksanaan atau tindakan kepala Negara, artinya segala akibat daripada perbuatan-perbuatan itu dipikul oleh kabinet.
Tetapi oleh karena dalam kenyataannya bahwa bertanggung jawab atas keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan itu adalah kabinet, materi yang bersangkutan, maka harus dapat dibuktikan bahwa di dalam keputusan-keputusan tau peraturan-peraturan itu ada persetujuan dari kabinet, atau salah seorang menteri yang bersangkutan, untuk menyatakan adanya persetujuan ini, maka anggota cabinet yang bersangkutan, atau menteri yang bersangkutan atau perdana menteri untuk atas nama seluruh anggota kabinetturut serta menandatangani keputusan atau peraturan itu. Turut serta penandatanganan yang demikian ini di sebut contrasign.
Dengan demikian maka yang bertanggung jawab atas keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan itu adalah menteri yang bersangkutan, yaitu menteri yang turut serta menandatangani keputusan atau peraturan tadi. Maka di dalam system atau stelsel parlementer ini kepala Negara diberi kedudukan yang tidak dapat di ganggu gugat.
Inilah uraian secara singkat yang di sebut system parlementer, yang pernah juga di laksanakan di Negara Indonesia, yaitu ketika Negara Indonesia berada di bawah kekuasaan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949, dan juga ketika di bawah kekuasaan Undang-undang Dasar 1950. Juga di Negara-negara Eropa Barat. Sedangkan menurut sejarahnya, asal daripada stelselparlementer ini adalah Inggris, dan yang merupakan di puncak daripada perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris. Sedangkan kalau di Indonesia stelsel parlementer tersebut adalah merupakan titik tolak daripada perkembangan sejarah ketatanegaraannya.
Adapun sejarah perkembangan stelsel parlementer tersebut di Inggris dapatlah secara singkat dituturkan sebagai berikut:
Pertumbuhannya di Kerajaan Inggris itu di mulai denagn suatu adagium atau azas yang tersimpul di dalam kata-kata : The King Can Do Wrong. Yang artinya adalah Raja Tidak Pernah Berbuat Salah. Pengertian yang penting daripada adagium ini bukanlah oleh karena Raja tidak dapat berbuat salah lalu semua perbuatannya betul, tidak, tidaklah demikian, tetapi pengertiannya adalah Apabila ada perbuatan yang tidak betul itu bukanlah perbuatan Raja, oleh karena itu Raja tidak dapat berbuat salah. Jadi apabila ada perbuatan yang keliru meskipun perbuatan itu adalah perbuatan daripada Raja itu sendiri, bukanlah Raja yang harus bertanggung jawab, tetapi yang harus bertanggung jawab adalah cabinet, atau salah seorang menteri yang bersangkutan.
Dengan cara demikian maka akhirnya dapat tercapai suatu system pemerintahan, di mana yang harus bertanggung jawab itu adalah para menterinya. Yang berarti bahwa yang berhak menentukan kebijaksanaan pemerintahan pemerintahan itu bukan lagi Raja, tetapi para menterinya, atau kabinet.
Antara stelsel parlementer yang berasal dari Inggris dan kemudian di ikuti oleh negara-negara lainnya di Eropa Barat, dan yang kemudian juga di ikuti oleh negara Indonesia, ada perbadaan yang besar sekali. Suatu perbedaan yang sebenarnya tidak terletak di dalam azasnya, melainkan suatu perbedaan yang timbul karena keadaan, yaitu bahwa stelsel parlementer di Inggris itu bukanlah suatu improvisasi, bukam merupakan ciptaan dengan sengaja, yang ditentukan secara dogmatis, yaitu dengan menentukan peraturan-peraturannya terlebih dahulu, baru kemudian dilaksanakanya peraturan-peraturan tersebut, melainkan stelsel parlementer di Inggris adalah merupakan suatu hasil daripada perkembangan sejarah ketatanegaraannya. Perkembangan mana akhirnya mencapai suatu titik puncak di mana terdapat system pemerintahan yang demikian itu tadi.
Sedangkan stelsel parlementer di negara-negara lainnya, termasuk juga Indonesia, tidaklah demikian keadaanya, melainkan hasil perkembangan sejarah ketatanegaraan yang telah tercapai di Inggris itu, sebagai puncak daripada sejarah perkembangan system ketatanegaraan, dipergunakan oleh negara-negara lainnya sebagai suatu titik permulaan daripada sejarah perkembangan ketatanegaraannya, jadi tegasnya, stelsel parelemnter itu kalu di Inggris merupakan titik puncak daripada sejarah perkembanganketatanegaraannya, sedangkan kalau di negara-negara lainnya termasuk juga Indonesia, merupakan titik permulaan daripada sejarah perkembangan ketatanegaraannya.
c. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan, dengan stelsel referendum, atau control secara langsung oleh rakyat.
Salah satu jalan lain untuk menghindarkan suatu pemerintahan yang bersifat absolute ialah system yang dipergunakan atau di laksanakan di Swiss, yaitu yang disebut dengan system referendum.
Kalau di dalam system peresidensial kedudukan badan eksekutif itu bebas dari badan legislatif, jadi tidak ada hubungannya, dan kalau di dalam system parlementer antara badan eksekutif dan badan legislatif itu terdapat hubungan yang bersifat timbale balik, maka adalah sangat berlainan keadaanya dengan pemerintahan yang mempergunakan system referendum ini.
Didalam system referendum, di Swiss, badan eksekutif disebut Bundesrat yang bersifat suatu dewan, merupakan bagian daripada badan legislatif, yang di sebut Bundesversammlung. Bundesversammlung ini terdiri dari Nationalrat dan Standerat. Nationalrat adalah merupakan badan perwakilan nasional, sedangkan Standerat adalah merupakan perwakilan daripada negara-negara bagian yang disebut kanton. Dengan demikian maka Bundesrat tidak dapat dibubarkan oleh Bundesversammlung, lagipula yang dimaksud dalam system ini bahwa, Bundesrat itu semata-mata hanya menjadi badan pelaksana saja daripada segala kehendak atau keputusan Bundesversammlung, dan untuk itu di antara anggota-anggota Bundesversammlung itu ditunjuk 7 orang, yang kemudian ketujuh orang ini merupakan suatu badan yang bertugas melaksanakan administrative keputusa-keputusan daripada Bundesversammlung. Jadi anggota-anggota Bundesrat itu di ambil dari sebagian anggota-anggota Bundesversammlung.
Meskipun juga ada anggota-anggota Bundesrat yang di anggkat dari luar Bundesversammlung, tetapi setelah ia menjadi anggota Bundesrat, dengan sendirinya ia menjadi pula anggota Bundesversammlung. Jadi dengan demikian Bundesrat tetap merupakan bagian daripada Bundesversammlung. Karena itu sama sekali tidak ada persoalan tentang ada, atau tidaknya kata sepakat antara Bundesrat dengan Bundesversammlung, atau kata sepakat antara badan eksekutif dengan badan legislatif. Pula, di sini tidak ada ketentuan tentang pembagian pekerjaan, karena memang yang dimaksud di dalam system ini adalah bahwa, segala sesuatu itu diputuskan oleh Bundersammlung, dan kemudian pelaksanaanya diserahkan kepada Bundesrat.
Maka melihat keduudkan Bundesrat yang merupakan badan pelaksana saja daripada segala apa yang telah menjadi putusan Bundesversammlung, kita lebih cendung menyebut system yang dilaksanakan di swiss itu dengan istilah system badan pekerja.
Kalu misalnya di dalam system ini Bundesrat itu menjalankan kebijaksanaan yang menurut Bundesversammlung tidak sesuai dengan yang di kehendaki oleh Bundesversammlung, maka Bundesrat tidak mempunyai kebebasan lagi untuk meneruskan apa yang menjadi kehendaknya, atau lalu sama sekali tidak mau bekerja, melainkan Bundesrat harus merubah sikapnya yang harus menjalankan apa yang di kehendaki oleh Bundesversammlung. Jadi harus lalu membatalkan maksud mereka semula dalam menyesuaikan tindakannya itu dengan kehendak Bundesversammlung.
Diantara anggota-anggota Bundesrat itu tidak ada yang ditunjuk sebagai pemimpin daripada Bundesrat tersebut. Jadi tidak ada seseorang yang, - sebagai halnya di dalam system presidensil -, mempunyai kedudukan sebagai presiden, yang memimpin badan eksekutif itu. Memang betul bahwa diantara anggota-anggota bundesrat itu ada yang di tunjuk untuk selama masa satu tahun untuk menjalankan tugas-tugas negara atau pekerjaan yang lain-lain negara biasanya di jalankan oleh kepala negara atau presiden. Tetapi ini tidak berate bahwa penunjukan itu membawa kedudukan atau hak-hak istimewa baginya, yang berbeda dengan anggota Bundesrat lainnya. Sebab kedudukannya tidak lebih hanyalah mengepalai, dalam arti mengkoordinir anggota-anggota Bndesrat itu. Jadi tidak merupakan kedudukan yang khusus.
Pengankatan utnuk menjadi anggota Bundesrat itu selama masa tiga tahun, dan selama masa jabatan itu mereka tidak dapat dihentikan, dan sehabis masa jabatannya itu mereka dapat di pilih kembali; dan untuk ini, untuk dapat di angkat menjadi anggota Bundesrat lagi, mereka harus mempunyai keahlian, baik keahlian politis maupun keahlian dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
Tadi di atas dikataka bahwa Bundesrat itu hanya melaksanakan saja apa yang telah menjadi putusan daripada Bundesversammlung. Apakah dengan demikian lalu kedudukan Bundesversammlung itu bebas sama sekali ? Kiranya tidaklah demikian halnya. Sebab di Swiss itu di dapatkan suatu lembaga kenegaraan yang di sebut referendum, yaitu suatu pemungutan suara secara langsung dari rakyat, yang mengontrol tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan daripada Bundesversammlung. Ada dua macam referendum, yaitu:
1. Referendum obligator, atau referendum wajib.
2. Referendum fakultatif, atau referendum yang tidak wajib.
Maurice Duverger menyebutkan system di Swiss ini dengan istilah demokrasi semi langsung.
Menurut Kranenburg(83) bahwa sebab-sebab terdapatnya perbedaan tipe daripada demokrasi modern terletak dalam riwayat politik daripada negara-negara yang bersangkutan. Sistem parlementer itulah perubahan hebat untuk negara monarki di bawah pengaruh azas pertanggungan jawab menteri. Dengan demikian tugas monark atau raja telah diganti sifatnya dengan tidak ada perubahan di luar, yakni menjadi tugas yang menjamin dan membimbing berjalanya system secara teratur, oleh karena ia pertama-tama sebagai lat berdiri di atas partai-partai dan sesudah pemilihan menjamin pemerintahan kepada partai-partai atau kepada kombinasi partai-partai yang ternyata telah mendapat suara terbanyak. Tugas ini sangat penting; kehidupan tak terganggu konstitusionil seluruhnya akhirnya tergantung kepada di selenggarakannya dengan baik tugas ini.
Tugas itu menghendaki pengetahuan bulat tentang hubungan-hubungan politik dan aliran-aliran politik pada penduduk, kecakapan membuat putusan, kenal betul akan orang-orang dan jagan dilupakan pula kebesaran hati, oleh karenanya di butuhkan sekali keadilan yang tepat dalam meninjau hak-hak pelbagai golongan. Selanjutnya tugas alat juga menstabilisir, oleh karena menteri-menteri selalu dapat dipaksa untuk membela tindakan-tindakan mereka terhadap organ yang terdiri di atas partai oleh karena jabatab, pendidikan, adat dan biasanya seorang pembesar yang tinggi.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. kesimpulan
a. demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani, demos yang berarti rakyat, dan cratein yang berarti memerintah. Bila di gabungkan maka berarti “rakyat yang memerintah” atau “pemerintahan rakayat”. Kata ini menjadi popular setelah di ucapkan negarawan sekaligus mantan presiden Amerika Serikat, Abrahan Lincoln yang mengatakan, “govermment is from the people, by the people, and for the people”, sehingga dapat di artikan bahwa demokrasi adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dari sini dapat di tarik bahwa tekanan jenis pemerintahan ada pada kekuasaan pemerintahan dalam tiap-tiap negara. Bila kekuasaan pemerintahan negara itu berada di tangan rakyat, maka negara itu di sebut negara demokrasi di mana rakyat memegang kekuasaan atau kedaulatan.
Menurut Internasional Commision Of Jurist demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam pemerintahan demokrasi adalah rakyat.

b. tipe-tipe demokrasi modern

a. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representative, dengan system pemisahan kekuasaan secara tegas, atau system presidensiil. Sebagai contoh daripada system ini misalnya Amerika serikat.
b. demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representative, dengan system pemisahan kekuasaan, tetapi di antara badan-badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislative dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbale balik, dapat saling mempengaruhi, atau system parlementer.
c. ..... sistem referendum....

B. Saran
Hendaknya melalui makalah ini kita dapat memahami dan menjelaskan tentang arti dari “demokrasi dan tipe-tipe”. Makalah yang kami susun ini masih banyak mengalami kekurangan , baik dari segi pengambilan materi, menyusun materi maupun dari segi penulisnya, jadi kiranya dapat memberikan hal-hal positif bagi kesempurnaan makalah ini yang berjudul Negara demokrasi modern.


DAFTAR PUSTAKA

Soehino, 2005. Ilmu Negara, Yogyakarta: LIBERITY TOGYAKARTA
Pakpahan, Mochtar, 2010. Ilmu Negara dan politik, Jakarta: PT Bumi Intitama Sejahtera
Budiardjo, Mariam, 2008. Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
raha